Skip to main content

Pulang

Siang itu panas terik tuan matahari terasa membakar tulang dan  nan jauh disana  tuan cumulus nimbus tengah datang bersama tuan angin. 
Sesosok perempuan dengan blus kotak-kotak sibuk berpamitan dengan kucing-kucing yang telah ia anggap seperti keluarganya sendiri.Hoho, huba dan huha. Dia pun melangkah pergi menjauh dari gerombolan kucing yang seakan akan mengantarnya pergi di depan rumah kos kecil tempat selama ini ia tinggal. Setelah menaiki motor ia kembali menatap kucing-kucingnya dan melihat tatapan huba seakan mengerti bahwa tuannya akan pergi dalam beberapa hari sama seperti dulu. Perlahan ia meninggalkan mereka bersamaan dengan datangnya bayangan tuan cumulus nimbus yang menyejukkan.

Terminal Purabaya
Ramai riuh terminal purabaya di akhir pekan kini terlihat lebih lengang dengan renovasi yang menakjubkan. Wanita itu berjalan dengan menenteng tas dan buah tangan yang telah ia beli untuk ibunya di desa. Perlahan ia menaiki eskalator seperti tangga biasa, entah mengapa eskalatornya tidak berfungsi kali ini. Sampai di atas seorang wanita berseragam abu abu tengah sibuk menjawab satu persatu pertanyaan dari para calon penumpang bus yang bingung harus lewat mana. Wanita berbaju kotak-kotak itu hanya berdiri disamping kerumunan dan melihat papan penunjuk jalur bus yang berada tepat dibelakang wanita berseragam itu kemudian melenggang pergi menuju lorong bus 18. Beberapa orang menghadang dan menanyakan kota tujuan, seperti biasanya. 'Lumayan mengganggu,Inilah kekurangan terminal ini", pikirnya. Siapa yang akan disalahkan, orang-orang itu hanya sedang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. 
Jalur 18. Jalur bus yang akan mengantarnya pulang. Saat itu bus sudah lumayan penuh dengan hanya menyisakan beberapa kursi di bagian belakang. Deret bus dengan kursi untuk tiga penumpang menjadi pilihannya. Ia pun duduk tepat disamping jendela, siang menjelang sore, tuan matahari akan memata-matainya. 
Hembusan air conditioner sempat membuatnya nyaman sebelum kedatangan ibu-ibu dengan penuh keringat dan sibuk batuk tanpa masker dan tanpa berusaha menghalau virus agar tidak menyebar duduk disampingnya. Panas keringat lengannya bahkan mampu ia rasakan dari balik tebalnya jaket yang ia kenakan. Ibu itu datang dengan langsung mengarahkan lubang ventilasi ac ke arahnya. Perlahan ia mengingat bahwa ia belum mengabari ibunya akan kepulangannya hari itu, diraihnya ponsel dan bercakap sebentar hingga bus pun berangkat. 
Dipintu keberangkatan bus para calon penumpang riuh memasuki bus, salah satu penumpang yang menyita perhatiannya adalah seorang ibu-ibu berwajah letih dan garang yang mengenakan ransel dan topi cowboy, terlihat acak acakan, seorang backpacker yang tak sedap dilihat. Ibu itu duduk di deret kursi di depannya. Kembali ia menatap jendela, benar apa perkiraanya, Tuan matahari datang memata-matainya. Ibu batuk dan penumpang yang duduk didepannya dengan serta merta menarik tirai yang masih terlipat rapi seakan dikomando mereka menutupi dirinya dari sengat tuan matahari yang memata-matai, seolah vampir yang akan hancur jika terkena sengatan matahari. Perempuan itu merasakan hangatnya pelukan itu, pelukan tuan matahari. Ia sengaja tak menutupi dirinya dengan tirai, hangat dan pemandangan diluar sana lebih menyita perhatiannya. Selama si ibu batuk tengah sibuk menyebar virus, selama itu pula pergolakan antara tuan matahari dan tuan cumulus nimbus dengan tuan angin sahabat setianya terjadi. Bus meluncur meninggalkan kota surabaya, saat itu pula tuan cumulus nimbus berhasil memenangkan pertempurannya, teduh, dingin dan tidak menyilaukan. Wanita berbaju kotak kotak itu meraih ponsel dan mengambil gambar kemenangan tuan cumulus nimbus. 'Birunya langit,,, menyenangkan"pikirnya sambil tersenyum dan menatap tuan cumulus nimbus.

Beberapa menit berlalu seakan memihak pada tuan cumulus nimbus perempuan itu merasa bersalah 'aku tak memusuhimu tuan matahari" ujarnya. Dan serta merta tuan matahari hidup lagi dan mengalahkan tuan cumulus nimbus yang kini telah pergi dengan tuan angin yang menuntunnya.
Bukan maksudnya seakan memihak tuan cumulus nimbus. Hanya saja ia selalu segan menatap tuan matahari dengan kesombongan yang selama ini sulit untuk disingkirkan. Perlahan ia menatapnya, matahari di atas sana, terlalu besar dan bukan tandingannya. Manusia terlalu sombong dan selalu merasa hebat dengan tidak menghiraukan tuan matahari dan penciptanya. Percakapannya  dengan tuan matahari tiba tiba terputus ketika ibu backpacker mulai memaki bapak-bapak yang berdiri di sampingnya. Kakinya terinjak, bapak itupun tidak mau mengalah ketika si ibu bacpacker garang terus memakinya. Pertengkaran sengitpun tidak terelakkan, hingga ibu batuk dan bapak kondektur melerainya, setelah itupun mereka masih sempat saling memaki hingga keheningan terjadi. Permasalahan kecilpun bisa menjadi besar, mungkin ibu itu lapar. Entah bagaimana ibu itu bisa melakukan perjalanan yang diharapkan akan menjadi menyenangkan jika ibu itu bersikap garang dan tidak santai, atau ia hanya akan datang, menikmati kesendiriannya dan memusuhi sekitarnya "bukan sifat backpacker sejati"pikirnya. Perlahan perempuan berbaju kotak itu melirik bapak bapak yang menjadi musuh ibu backpacker dan mulai tersenyum nakal dan berkata "Aku ingin mereka bertengkar lagi"
Perjalanan dengan tuan matahari memeluknya yang tengah terpejam, hingga ia terbangun dan menyentuh bagian muka yang tak tertutupi masker. 'Kau mungkin telah membakar kulit disekitar mataku' celotehnya pada tuan matahari sambil tertawa. Ibu batuk disampingnya telah digantikan oleh pasangan muda mudi, pemuda itu menyapanya yang baru saja bangun dari tidurnya, mungkin ia menikmati tidurnya terlalu lama. 'Mereka akan menempuh perjalanan panjang'pikirnya. Jogja betapa inginnya dia merantau ataupun tinggal disana, dekat dengan leluhurnya. Mungkin selama ini ia tak terlalu antusias dengan leluhur dari keluarga bapaknya di kota tempat ia dilahirkan, bahkan walaupun leluhurnya adalah pendiri kota itu. Kanjeng Jimat begitu mereka dan keluarga bapaknya menyebutnya. 
Sampai di pasar bawang merah sukomoro, para tukang ojek menyerbunya namun ia memilih untuk menaiki bentor di ujung jalan. Ia lebih menyukai perjalanan lama dengan adrenalin yang tercipta dari jalanan yang berlubang. Sama seperti biasanya ia tertawa, mungkin bapak bentor mengetahui tawanya dibalik masker ketika bentor mulai bergoncang hebat. Dan sama seperti biasanya pula ia mulai merekam perjalanan penuh tawa itu. Kebahagiaan yang mengenaskan.
Memasuki kawasan desa gondang, rintik gerimis kecil mulai menyambut kedatangannya. Ia pun tersenyum dan menatap tuan cumulus nimbus yang kini jatuh di pangkuannya.


Comments